Perkembangan Musik Eropa & Indonesia. Para pelaku di lapangan adalah cerminan dari seberapa baik suatu ekosistem secara keseluruhan telah berkembang. Pengalaman dan persoalan yang mereka bagikan merupakan gejala-gejala konkret dari kondisi ekosistem. Hanya dari sanalah kita atau siapapun mesti bertolak dalam berupaya membangun kehidupan ekosistem yang lebih baik. Elaborasi semacam itu hanya dapat terjadi melalui percakapan dan diskusi yang dilakukan dengan para pelaku. Lantas seperti apa kondisi ekosistem musik Indonesia berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dibagikan para pelaku? Simak cerita pengalaman mereka di bawah ini.
Minggu, 23 Januari 2021 kemarin, baru saja UVERS atau Universitas Universal Batam menggelar sebuah diskusi daring bertema “Development of European, Asian and Indonesian Music”.
Diskusi daring ini merupakan bagian dari program UMEC atau UVERS Music Education Conference.
Dalam diskusi tersebut turut hadir beberapa narasumber yang terdiri dari pelaku dan pendidik musik. Di antaranya:
Moderator: Arham Aryadi
Acara ini dihadiri oleh penonton kurang lebih sebanyak 97 orang yang cukup antusias karena dengan sabar mereka dapat mengikuti jalannya diskusi sejak awal hingga akhir meski acara ini berdurasi panjang, mulai dari pukul 15.30-19.30.
Diskusi dilakukan dengan presentasi dari tiap-tiap narasumber yang kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antara narasumber dengan para audiens.
Penjelasan yang diberikan sangat bervariasi mengingat latar belakang kebidangan dan rutinitas profesi masing-masing narasumber yang juga bermacam-macam.
Mulai dari komponis, instrumentalis (cellist), pelaku musik tradisi, komponis elektronik, penata musik film, dan juga pegiat platform musik online.
Dieter Mack dalam presentasinya menjabarkan seputar perkembangan musik di Eropa dan beberapa aliran komponis yang bermunculan di sana, khususnya sejak Perang Dunia II.
Ia mengakui bahwa sesungguhnya cukup sulit mengklasifikasikan banyaknya musik yang ada.
Ia sendiri seringkali dalam presentasinya menyatakan ketidaksetujuan tentang “pe-label-an” jenis-jenis aliran tersebut. Namun setidaknya ia anggap itu sebatas upaya untuk memudahkan kita dalam menunjuk beberapa aliran tertentu.
Di samping itu, Dieter menyampaikan bahwa sesungguhnya akan lebih relevan jika dalam upaya semacam itu menggunakan pendekatan individual.
Artinya, hampir setiap komponis yang muncul dan disebutnya kebanyakan memiliki ide dan gagasan artistik personal dalam membuat komposisi. Karena itu, sesungguhnya untuk mengkotak-kotakan mereka ke dalam kategori-kategori yang fix adalah hal yang sulit.
Beberapa aliran yang dipaparkan Dieter berdasarkan urutan waktunya antara lain: Kembali ke Harmonisasi, New Complexity, Aliran Ekspresif (Neo Romantic), Campuran Pop/Tradisi dengan Teknologi Terkini (misal: musik elektronik), Spectralism, dan yang terakhir saat ini berkembang adalah Conceptionalism.
Hal menarik lain yang disampaikan Dieter dan menjadi alasan mengapa perkembangan musik kontemporer di Eropa bisa begitu subur adalah karena musik kontemporer menjadi bagian integral kehidupan musik di Eropa.
Setidaknya sejak muncul teknologi radio (?), banyak dari radio yang didirikan pemerintahan berperan serta dalam mengedukasi publik pendengar. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa radio-radio ini memegang peran penting dalam agenda kebudayaan tersebut.
Meski musik kontemporer terbilang minoritas dari kehidupan musik pada umumnya, namun mereka dapat berkembang marak di Eropa di samping tentu saja ada beberapa darinya yang cenderung dominan dengan sikap tertentu yang ditonjolkan.
Radio swasta yang lebih komersil tidak bisa dipungkiri menjadi pesaing berat dalam kontestasi ini. Namun itu tidak menjadi penghalang bagi tumbuh kembang musik kontemporer di sana.
Kelompok-kelompok ansambel kecil yang aktif memainkan musik-musik kontemporer juga banyak bermunculan, “bahkan hingga saat ini”, tandas Dieter Mack.
Sebagai gambaran Dieter menambahkan, “jika tidak ada pandemi covid-19 maka tahun ini sudah akan ada dua ratusan lebih pentas musik kontemporer yang akan dipergelarkan”.
Pemaparan tentang perkembangan musik di Eropa itu kemudian dikontraskan dengan perkembangan musik di Indonesia.
Kali ini Asep Hidayat menceritakan pengalamannya sebagai pemain dan juga tenaga pengajar di salah satu institusi perguruan tinggi musik Indonesia.
Bermula dari sejarah, ia menerangkan bagaimana musik kontemporer bisa masuk di Indonesia.
Tidak bisa dipungkiri, musik-musik tersebut diperkenalkan pertamakali melalui jalur pendidikan formal yang mulai bermunculan sejak 1950`an. Kemunculan pertama lembaga pendidikan musik formal diinisiasi oleh pemerintah, meskipun pada faktanya lembaga pendidikan musik non formal swasta sudah ada lebih dahulu seperti di Medan dan Jakarta.
Pertama-tama SMI di Yogyakarta kemudian dilanjutkan berdirinya AMI yang sudah berubah menjadi ISI Yogya , diikuti pendirian ISI di beberapa daerah lain. Tidak lupa di Jakarta juga ada LPKJ yang sekarang menjadi IKJ, serta pembukaan jurusan seni di berbagai IKIP yang tersebar di beberapa daerah.
Musik kontemporer di Indonesia mulai diperkenalkan sebagai salah satu minat atau konsentrasi bidang (komposisi) di kampus-kampus di atas, seperti di AMI dan LPKJ. Di LPKJ ada Slamet Abdul Sjukur yang mengajar di sana, ia sendiri bisa dikatakan sebagai salah satu peletak batu pertama musik kontemporer Indonesia.
DENGARKAN JUGA : PERLUKAH LULUSAN KULIAH MUSIK
Beberapa poin lain yang disampaikan Asep Hidyat juga menyinggung tentang kecenderungan arah komposisi musik kontemporer berdasarkan pengalamannya mementaskan musik kontemporer.
Ia melihat adanya kecenderungan bahwa pada era ini, di mana sekat-sekat wilayah sudah semakin tidak terbatas, justru banyak yang kembali pada elemen kultural-tradisi sebagai identitas.
Meskipun itu bukan suatu hal yang buruk, hanya saja menurutnya bisa dikatakan tidak terduga. Artinya di sini ia berasumsi pada era di mana sekat wilayah semakin tidak terbatas, seharusnya perbedaan-perbedaan secara kulutral semakin lebur. Tetapi, sekali lagi ia menekankan bahwa ini hanyalah sekedar asumsi yang bisa didiskusikan lebih lanjut.
Poin terakhir, berkebalikan dengan yang terjadi di Eropa, Asep melihat bahwa justru kelompok orekstra besarlah yang semakin bertumbuh di Indonesia, bukannya kelompok format chamber yang lebih kecil dan ekonomis. Ini juga salah satu hal yang menurutnya ironis.
Kemungkinan, ia melihat hal tersebut berdasarkan situasi ekonomi dan perkembangan musik seni di Indonesia yang berada dalam posisi kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan kehidupan musik pop. Di samping, juga karena pandemi yang semakin menggerus keadaan.
Begitu juga Ismet pelaku musik tradisi, ia turut menjelaskan beberapa kondisi yang dirasa masih perlu menjadi perhatian bersama, khususnya terkait kondisi musik tradisi di lapangan yang masih jauh dari kata ideal.
Beberapa yang ia soroti di antaranya terkait pengadaan pendidikan dan arah praktik musik tradisi yang ia jumpai.
Dalam hal pengadaan pendidikan, misalnya, ia menemui adanya pembukaan jurusan yang dirasa serampangan, dalam arti tidak didasarkan pada suatu formulasi dan orientasi yang jelas.
BACA JUGA : KENAPA KULIAH MUSIK?
Sebagai gambaran ia mencontohkan adanya pembukaan jurusan musik angklung dan bambu oleh salah satu perguruan tinggi seni di Bandung.
Artinya, ia berasumsi bahwa pembukaan jurusan yang semestinya didasarkan pada pengusaan ilmu kebidangan dan capaian kompetensi, dikerdilkan hanya fokus pada penguasaan instrumen musik tertentu semata.
Selain itu, dari pengalamannya sebagai musisi tradisi, Ismet juga melihat arah praktik musik tradisi yang semata ditentukan oleh kepentingan komersil.
Segala upaya (penciptaan?) yang melibatkan penentuan “scale-scale“, dibuat hanya mengikuti ketentuan (easy listening?) dari event organizer.
Sehingga bagi Ismet, “musik tradisi, makna sosialnya sudah menipis”, karena penciptaan musik tradisi tidak didasarkan pada “otonomi kultural, yaitu keberanian menggali potensi kultural”.
Di samping ketiga narasumber ini masih ada Patrick Hartono yang memberikan gambaran tentang musik elektronik dan sejarahnya secara komprehensif disertai contoh-contoh yang cukup lengkap.
Dalam sejarahnya, perkembangan musik elektronik dipelopori oleh beberapa tokoh seperti Pierre Schaffer dan Stockhausen yang cukup menonjol.
Sedangkan di Indonesia sendiri, musik elektronik juga turut menjadi salah satu bagian dari keseluruhan praktik musik yang ada.
Salah satu yang mempeloporinya adalah Otto Sidharta, di samping Patrick sendiri yang hingga sekarang juga cukup intens dalam mempelajari dan membuat musik-musik elektronik.
Otto Sidharta dalam musik elektronik dikenal dengan konsepnya Musik Elektronik Intuitif. Berdasarkan pengamatan Patrick, Otto menjadikan musik tradisi sebagai objek bunyi yang bukan hanya dimanipulasi timbre-nya tetapi juga diproyeksikan sebagai soundscape komposisi.
Sedangkan Patrick sendiri dalam membuat musik elektronik pada dasarnya menggunakan musik konkret dengan metode dan teknologi yang umum digunakan pada musik konkret, namun disertai manipulasi digital.
Menurutnya, musik elektronik di eropa berkembang cukup subur, bahkan banyak sekali lembaga pendidikan yang membuka dan memfasilitasi pembelajaran musik elektronik. Mungkin sedikit berkebalikan dengan yang terjadi di Indonesia (?).
Ia melihat bahwa musik elektronik sebagai salah satu cabang praktik musik sesungguhnya penting, mengingat potensi yang cukup besar bisa digali dari musik elektronik.
Karena menurutnya, saat ini dan di waktu yang akan datang, musik elektronik banyak diterapkan menggunakan sistem interdisiplin seperti memadukannya dengan teknologi kecerdasan buatan (A.I) atau juga aplikasi.
Mungkin salah satu contohnya seperti yang dijelaskan Huda Agusta tentang penggunaan (perangkat lunak/softwere) musik elektronik sebagai elemen dalam musik film. Meskipun ini baru bisa dikatakan sebagian kecil penerapan yang bisa dilakukan, dan selebihnya masih banyak sekali potensi yang bisa digali dari praktik musik elektronik.
BACA JUGA : MUSIK POP, APA ITU?
Lain daripada yang lain, Christian Bong dalam diskusi ini adalah satu-satunya (mantan?) pegiat sekaligus mahasiswa bidang komposisi yang kemudian berbalik arah terjun ke dunia industri.
Dalam diskusi ini, ia banyak menceritakan pengalaman dan alasannya hingga ia pada akhirnya memutuskan untuk masuk ke dunia musik industri.
Sebagai orang yang pernah menjadi mahasiswa komposisi dan juga seorang komponis muda, ia menyadari begitu besar tantangan yang ada untuk meniti karir di wilayah musik “serius” itu.
Melalui berbagai rintangan dan persoalan yang ia alami, ia melihat bahwa komponis sebagai karir atau profesi utama (mungkin) sepertinya hampir tidak mungkin dilakukan di Indonesia.
“Karena basic insting. Dari pengalaman, di Indonesia tidak bisa untuk survive untuk apa yang di kuliah saya pelajari.”
Semenjak itu ia mencoba mencari peluang lain, dan sampailah ia pada kesimpulan bahwa musik pop dapat menyediakan kesempatan yang lebih baik.
Meskipun adanya stigma tertentu tentang musik pop, melalui berbagai penelusuran ia bisa melihat bahwa musik pop “tidak secetek yang dipikirkan (orang pada umumnya)”.
Dalam arti, musik pop sebagai salah satu domain perindustrian memiliki proses bisnis yang kompleks dan karena itu tidak bisa dianggap sepele.
Dari sana ia kemudian membuat sebuah platform musik pop online bernama indomusikgram dan media pasangannya, bahasmusik.
Bagi Christian, supaya ekosistem musik dapat berjalan, maka musik harus dilihat sebagai komoditas. Sehingga, ada produk yang bisa diperjual-belikan dan menjadi sumber penghasilan konkret bagi para musisi.
Setidaknya itulah yang bisa ia sarikan dari pengalamannya selama ini terjun sebagai pelaku dan pegiat musik industri.
Itulah beberapa poin yang bisa ditangkap dari diskusi UMEC, “Development of European, Asian and Indonesian Music”.
Melalui diskusi daring tersebut banyak sekali pengalaman yang telah dibagikan para pelaku sehingga sedikitnya dapat memberikan kita gambaran bagaimana situasi dan kondisi ekosistem musik (khususnya musik seni) di Indonesia.
Artinya masih ada banyak sekali hal yang seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Persoalan-persoalan yang dilontarkan ini dapat menjadi titik tolak dalam membicarakan dan mengupayakan terus-menerus sebuah ekosistem musik yang lebih baik.
Tentunya dengan kolaborasi menyeluruh yang melibatkan seluruh elemen dalam ekosistem ini.
BACA JUGA : MUSIK DAN KEBERLANGSUNGAN HIDUPNYA
Sebagai start up media, kami berperan menyediakan informasi serta wawasan tentang berbagai hal yang diperlukan bagi laju perkembangan ekosistem musik serta mengungkap berbagai persoalan yang ada di dalamnya.
Dengan mengisi peran tersebut, diharapkan Abstraksi Musik dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi keberlangsungan dan perkembangan ekosistem musik di Indonesia.
Panduan ini memuat wawasan mendasar tentang latihan beserta langkah-langkah penerapan cara berlatih yang efisien dan efektif untuk memperoleh keterampilan musikal yang optimal.
Dukung kami untuk menghasilkan konten-konten berbasis pengetahuan yang berkualitas.