MELIHAT KOMPONIS SEBAGAI PEKERJAAN UTAMA, DARI PERSPEKTIF LINGKUNGAN KAMPUNG SAYA.

Suparto Kalimosodo Diari Ke-2

Di lingkungan kampung saya, pekerjaan yang umumnya menjadi favorit adalah…, sebentar, maksud saya yang menjadi favorit di sini ditinjau dari sudut pandang para calon mertua ya… yaitu PNS, pegawai BUMN, pegawai kantor swasta dengan gaji minimal 3,5 jt, dan pegawai bank. Namun seiring dengan maraknya gerakan hijrah di kampung saya, pegawai bank tidak lagi menjadi favorit. Konon alasanya karena profit bank diperoleh dari hasil riba. Namun di luar itu, beberapa profesi yang saya sebutkan di atas, karena dianggap sebagai profesi yang cukup bergengsi (di mata ibu-ibu), maka memiliki peluang besar mendapatkan bunga desa kampung saya seperti Bella anak Pak Lurah atau Dinda anak Pak Budi yang merupakan tuan tanah, serta Ayas anak Pak Dokter yang mengabdi di Puskesmas.

Cukup menggelitik memang, karena saya pun menyadari pekerjaan yang baik di dunia ini tidak hanya itu-itu saja. Namun yang lebih mengejutkan lagi hingga membuat pandangan saya sedikit berubah, adalah ketika bertemu dengan kenyataan lain di luar kampung saya, tepatnya saat bertemu seseorang yang menyatakan dirinya sebagai seorang komponis! Firman namanya.

Dalam pengalaman saya bertemu seorang komponis itu, kami mengahabiskan waktu bersama dan saya banyak mengamati berbagai kegiatan hariannya. Dan melalui apa yang telah kami lalui bersama, saya mendapatkan banyak informasi tambahan untuk meningkatkan wawasan saya tentang musik. Hal pertama yang sungguh insightfull bagi saya adalah, saya menjadi tahu tentang step-step mendengarkan musik dari tingkat awam hingga sampai pada tahapan tertinggi seseorang dalam hal mendengarkan musik. Mulai sejak itu saya jadi kepikiran untuk meng-upgrade telinga saya. Setidaknya biar naik kelas lah, biar bisa dengerin musik “serius”.

Namun soal itu akan saya ceritakan di lain kesempatan, dan dalam tulisan saya yang sekarang, saya ingin melanjutkan cerita saya di awal mengenai komponis sebagai pekerjaan di kampung saya. Di sini saya berandai-andai bahwa Firman tertarik tinggal di kampung saya, katakanlah sampai benar terjadi Firman memutuskan demikian. Maka dilihat dari sisi manapun, saya sangat yakin dia pasti akan langsung menjadi buah bibir dan sorotan jaringan ibu-ibu high speed transfer data (julukan saya untuk ibu-ibu gosip) yang saling berbagi informasi saat dalam perjalan ke pasar, atau waktu antri beli micin di toko Bu Romlah. Adapun sebabnya karena,

Pertama, Dari Pola Hidup. 

Setidaknya berkaca dari kebiasaan teman saya yang profesinya komponis itu, dia mempunyai siklus hidup yang bisa dikatakan seperti orang nganggur. Itu **kalau mau ditinjau dari **sudut pandang penghuni RT. 07 kampung saya lho ya… Teman saya ini memiliki kebiasaan bangun pagi, kemudian dilanjutkan dengan menyeduh kopi dan meyalakan sebatang rokok sembari menikmati pagi. Tidak lupa sebagai pelengkap, smart phone berada di tangan kanan untuk update mengenai berita yang terkini, hingga fajar menyingsing.

Setelah fajar menyingsing, hal yang dilakukan Firman adalah pergi keluar untuk mencari sarapan. Setelah menyantap hidangan sarapan yang ditutup dengan sebatang rokok dan air putih hangat, Firman kembali ke meja kerjanya kemudian memandangi secarik kertas paranada. Di sana ia merangkai nada-nada radikal yang berdengung di kepalanya sambil sesekali melukiskan not balok pada halaman kertas paranada itu hingga senja mulai menunjukan cahayanya atau “badha asar”, kalau orang di kampung saya menyebutnya. Di kala senja ini, Firman kembali memenuhi gelasnya dengan kopi lagi. Tepat di gelas yang ketiga dengan rokok yang selalu menemani, Firman pun “terlarut dalam khayalan, di mana nyatanya dalam impian, hingga petang datang”.

Memang bagi saya sendiri apa yang dilakukan teman saya itu bukanlah hal yang aneh, karena saya sedikitnya tahu beberapa orang memiliki caranya sendiri dalam bekerja. Setidaknya dalam hal kebiasaan yang dia lakukan untuk membagun mood agar pekerjaanya beres. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika penghuni kampung saya melihat rutinitas teman saya ini. Barangkali sampai saya tidak bisa menghitung berapa banyak respon dan asumsi yang akan lahir jika mereka menyaksikan kebiasaan teman saya itu.

Kedua, Dari Hasil Kekaryaan.

Pastinya akan muncul pertanyaaan demi pertanyaan tentang bagaimana hasil karya musik Firman. Rasa penasaran itu sudah tentu akan terpicu karena mereka (ibu-ibu high speed transfer data) tidak pernah mendengar hasil karya teman saya ini. Berbeda, misalnya dengan Mas List (masih tetangga sekampung yang “sekilas” profesinya mirip-mirip Firman) yang karyanya bisa dinikmati di acara nikahan tetangga, pesta desa, atau beberapa festival yang berada di kampung kami.

Dari yang saya temui, ruang pagelaran untuk menampilkan dan mengapresiasi karya musik kontemporer juga sepertinya hanya sedikit. Mungkin ini sebabnya sehingga musik kontemporer menjadi sesuatu yang “terasa lain” ditelinga orang umum. Dari sini saya sempat bertanya, bagaimana mungkin orang-orang dapat mengapresiasi musik kontemporer kalau ruang tampil di depan publiknya saja sedikit. Dan kalaupun ada, paling-paling juga penontonnya jarang?, Saya masih penasaran, meskipun tidak semua tanya harus ku sendiri yang menjawab.

Mungkin warga di Kampung saya akan mempertanyakan, kenapa karya Firman tidak muncul di acara televisi seperti Inbox, Dahsyat atau Dangdut Academy, karena semua acara tersebut termasuk ruang untuk menampilkan dan mengapresiasi karya musik. Atau, paling tidak muncul di Tiktok dan dijadikan lagu buat joget-nya si Ayas anak Bu Jamilah istri Pak Dokter kebanggaan kampung kami.

Menjadi semakin runyam ketika ibu-ibu di kampung saya tidak bisa melacak hasil karya teman saya ini. Meskipun mereka juga terkendala kuota jika harus menjelajah Youtube untuk menemukan musik macam apa yang sebenarnya Firman ciptakan. Untungnya terdapat wifi kecamatan yang dapat mereka akses, sehingga mereka sempat untuk meninjau jejak-jejak kekaryaan Firman di Youtube. Sayangnya tidak banyak yang bisa ditemukan, karena di luar permasalahan copyright (sehingga tidak bisa sembarangan diunggah di platform seperti Youtube), sepertinya kesadaran dokumentasi di Indonesia pun masih kurang terhadap pertunjukan musik kontemporer. Adalah wajar jika arsip kekaryaan pun sulit diakses.

Ketiga, Dari Penghasilan yang didapat.

Para ibu-ibu high speed transfer data di kampung saya memiliki sistem kerja intelejen seperti film-film di TV. Seringkali suatu hal dilihat dari apakah sesuatu itu berpotensi membawa ancaman tertentu, dan secara spontan mereka langsung menyiapkan tindakan prefentif sebagai respon naluriah atas ancaman yang mungkin ditimbulkannya. Jika benar teman komponis saya itu jadi tinggal di kampung saya, maka berdasarkan poin pertama dan poin kedua dapat dipastikan akan muncul beberapa hipotesa seputar penghasilan yang didapatkannya:

  1. Bisa saja teman saya melakukan tindak pesugihan, misal, “babi ngepet”,
  2. Pelarian hasil korupsi,
  3. Atau memang keturunan anak orang kaya

Namun melihat kecilnya presentase berfikir “positif” di sini, maka besar kemungkinan banyak prasangka akan condong ke hipotesa yang pertama.

Langkah selanjutnya yang akan dilakukan ibu-ibu high speed transfer data di tempat saya adalah framing. Yaitu menceritakan kepada seorang ibu-ibu yang memiliki potensi pendengar berjumlah banyak (anggap saja si ibu ini layaknya buzzer kampung), hingga berita menyebar ke segala penjuru. Sebagai dampaknya, teman saya bisa menjadi gunjingan nomor 1 di kampung dan bagian terburuknya teman saya bisa diusir dari kampung.

Sampai pada poin ketiga ini, saya masih tidak bisa menemukan titik cerah bagaimana profesi komponis bisa menjadi sebuah mata pencaharian utama di kampung saya. Apalagi mau bicara soal peluang profesi komponis sebagai modal untuk mempersunting deretan bunga desa kampung kami, seperti Bella anak Pak Lurah, Dinda anak Pak Budi sang tuan tanah, dan Ayas anak Pak Dokter kebanggan kampung kami. Maka saya kira juga cukup dulu sampai di sini, dan saya akhiri sementara diary saya ini.

Worksheet ini bertujuan untuk membantu kita agar lebih peka terhadap element-element utama musik ketika kita mendengarkan musik.

Dukung kami untuk menghasilkan konten-konten berbasis pengetahuan yang berkualitas.

Abstraksi musik adalah start-up media musik yang berfokus pada pemberdayaan dan pengembangan ekosistem musik di Indonesia.

Download

Follow Abstraksi

© Abstraksi Musik.