KOMPROMI MUSIKAL DALAM PENGALAMAN LINTAS KULTURAL. Masih merupakan kesinambungan dari seri wawancara Yogyakarta Chamber Music Festival #10, selain wawancara dengan Asep Hidayat Wirayudha dan Lidya Evania Lukito, kali ini ada seorang bintang tamu yang tak kalah menarik ceritanya.
BACA JUGA : MUSIK KAMAR, SEBAGAI ALTERNATIF & PELUANG
Seri wawancara yang terakhir ini adalah dengan Neam S.R Hidayat seorang cellist yang juga turut memeriahkan Yogyakarta Chamber Music Festival #10, pada Juni 2022 lalu.
Pada kesempatan ini kami berbincang tentang bagaimana kesan-kesan Neam ketika menjadi bintang tamu kemarin dan tentang repertoar yang ia pentaskan bersama dengan Lidya (violinis) dan orkes gamelan HMJ Karawitan ISI Yogyakarta.
BACA JUGA : MOTIVASI MENJADI MUSISI
Repertoar yang mereka mainkan adalah sebuah komposisi dari Lou Harrison, yaitu “Double Concerto Violin Cello dan Gamelan”. Pada karya tersebut terdapat semacam asimilasi, khususnya terkait penggunaan jenis instrumen dari dua kultur bunyi yang berbeda.
Lebih jauh lagi, berikut ini adalah ulasannya.
Neam S.R Hidayat (cellist)
Q: Sebagai bintang tamu kemarin, bagaimana kesan-kesan anda mengikuti acara Yogyakarta Chamber Music Festival?
Saya telah menikmati pertunjukan YCMF (dulu YICMF) sejak tahun 2010, bahkan diberi kesempatan berpartisipasi beberapa tahun setelahnya. Jadi tentu saja saya sangat senang bisa tampil kembali dalam festival tahun ini!
Saya telah melihat berbagai macam musisi-musisi baik nasional maupun internasional yang tampil dalam festival ini, sehingga saya bisa mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru dari mereka, terutama mengenai musik kamar.
Festival musik kamar dengan standar seperti YCMF, saya kira di Indonesia hampir tidak ada. Kalau resital dan konser musik kamar, ya, banyak dan menjamur. Tetapi kalau festival? Saya kira saya belum menemukannya, apalagi yang konsisten dilakukan selama 10 tahun lebih.
Maka dari itu benar-benar terkesan dengan ide dan usaha yang telah dilakukan oleh Bapak Asep Hidayat selaku Artistic Director beserta rekan-rekannya, yang telah berjuang untuk mewujudkan festival ini terlepas dari berbagai kendala yang ada di lapangan, terutama setelah pandemi COVID-19 ini.
Semoga kedepannya kita semua dapat dipertemukan kembali, untuk terus bersenang-senang dalam perayaan festival musik kamar!
Q: Anda pernah bermain dalam musik kamar dan berkolaborasi dengan berbagai jenis instrumen, begitu juga pernah bermain concerto dengan diiringi orkes. Namun berbeda dengan pengalaman sebelumnya, kali ini anda bermain concerto dengan diiringi orkes gamelan.
Kesan saya bermain bersama gamelan : sangat-sangat seru! Saya pun belajar baaaanyak sekali! Bermain bersama gamelan memberikan saya pengalaman bermain musik kamar satu tingkat di atas kemampuan saya sebelumnya hahaha . . . karena gamelan dan instrumen gesek dimiliki oleh dua genre musik berbeda, sehingga saya dan Lidya di pressure untuk mencari solusi, bagaimana cara menyatukan suara perkusi gamelan dengan instrumen gesek yang sangat-sangat berbeda ini.
Pengambilan keputusan seringkali dilakukan bersama-sama, terutama antara saya, Lidya, dan pemain Kendangnya, Mas Ngatmin. Karena pemain Kendang kita ketahui yang memimpin laju permainan gamelan, maka saya maupun Lidya, berdiskusi dahulu dan membuat kesepakatan-kesepakatan A, B, C dst, tergantung interpretasi seperti apa yang diinginkan.
Oh kalau kendala tentu saja ada! Hahaha. Hal paling pertama yang membuat saya bingung adalah tuning. Karena saya dan Lidya pemain gesek, otomatis kita sudah menentukan tuning “normal” kami yaitu A440-442. Namun hal ini tidak berlaku ketika disatukan dengan gamelan. Karena mereka tidak mempunyai kultur tuning tersebut, maka dari itu, saya dan Lidya yang harus mengalah mengikuti salah satu instrumen mereka (karena instrumen-instrumen mereka pun tidak ada tuning yang akurat satu sama lain).
Kami pun mencoba mencari satu atau 2 nada yang sama-sama dipakai di tangga nada diatonis maupun pelog/slendro, dan kami sepakat nada tersebut adalah A# atau Bb. Jadi saya dan Lidya memainkan open string D, kemudian pemain gender akan memainkan nada panjang A#/Bb tersebut untuk memberi waktu saya dan Lidya untuk menyesuaikan. Hasilnya memang tidak mungkin 100% akurat, hal ini hanya sebagai salah satu pegangan untuk saya dan Lidya menyamakan tuning masing-masing.
Ohya, jangan ditiru ya, karena ini hanya akal-akalan kepepet kami saja. Hahahaha. Pasti ada metode lain yang lebih efektif untuk sekedar tuning!
Khususnya pada bagian ke 2, kami menghadapi tantangan yg sangat besar. Karena ternyata pemain kendanganya tidak tahu kalau kami diiringi solo kendang. Jadi kami terpaksa sistem kebut semalam khusus untuk bagian 2! hahahaha. Dan ternyata temponya jauh lebih cepat dari perkiraan. Namun setelah didengarkan lagi, bagian 2-nya jadi sangat menarik karena memang secara struktur musik pun, dia tidak seperti bagian 1 maupun 1 yang menggunakan tangga nada slendro/pelog.
Q: Seringkali seorang pemain mempunyai pertimbangan soal reperotar apa yang akan dipentaskan, baik berdasarkan pertimbangan musikal maupun berdasarkan siapa audiens yang akan menonton. Berkaitan dengan itu, adakah pertimbangan tertentu dalam pemilihan repertoar yang anda pentaskan kemarin, khususnya repertoar “Double Concerto” untuk Violin Cello dan Gamelan dari Lou Harrison.
Betul sekali, selain pertimbangan musikal dan audiens, saya rasa ada satu hal lain yang menentukan yaitu pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan kepada audiens, terlepas dari apa repertoarnya. Kolaborasi antara Biola, Cello dan Orkestra Gamelan ini (sejauh yang saya ketahui) merupakan kolaborasi pertama antara musik barat dengan musik tradisi di ISI Yogyakarta, yang sejujurnya telah memberikan pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan baru baik bagi pemain-pemain musik, maupun audiesnya. Bahwa sesungguhnya tidak perlu mengotak-ngotakkan genre musik tertentu derajatnya lebih rendah/tinggi, bahwa sesungguhnya, musik adalah musik, dan masing-masing genre bisa saling melengkapi, sehingga dapat memunculkan ide-ide dan perspektif musikal baru. Saya rasa hal ini selaras dengan apa yang ingin disampaikan Mbah Harrison dalam karya-karyanya.
Q: Sebagai seorang instrumentalis (cello), berdasarkan pengalaman anda, manakah yang lebih menyenangkan, apakah bermain solo, ansambel, musik kamar, atau orkes? Mengapa?
Tentu saja musik kamar!!! Saya sangat menikmati ketika saya bermain musik kamar. Karena saya bisa menjadi diri sendiri dengan leluasa, terlepas dari peran cellist dalam musik kamar. Bukan berarti saya merendahkan ansambel ataupun orkes, saya pun tetap menikmati. Tapi sulit bagi saya untuk bermain dalam sebuah ansambel maupun orkes, yang secara skill belum rata antara masing-masing pemain. (Skill yang saya maksud disini adalah musikalitas, teknik, pengetahuan musikal, pengalaman, dll).
Solo pun saya sangat menyukainya. Namun tantangannya lebih berat dan jauh lebih sulit, maka dari itu harus benar-benar dipersiapkan secara matang, baik fisik maupun mental.
Q: Sebagai pemain profesional dalam rangkaian YCMF #10, apa pesan-pesan yang ingin anda sampaikan untuk para insrumentalis muda yang masih menempuh studinya di kampus atau di sekolah kejuruan?
Perbanyak lah bermain musik kamar!! Karena segala fondasi musikalitas kalian akan terlihat saat bermain musik kamar. Teknik, pengetahuan dan pemahaman musikal, attitude, kemampuan mendengarkan, dll semua digunakan ketika bermain musik kamar. Jangan kebanyakan main orkes, kecuali orkesnya bagus dan benar-benar mendidik! Hahahaha
18 Juli 2022
Worksheet ini bertujuan untuk membantu kita agar lebih peka terhadap element-element utama musik ketika kita mendengarkan musik.
Dukung kami untuk menghasilkan konten-konten berbasis pengetahuan yang berkualitas.